Sabtu, 06 November 2010

SABDO PALON NOYO GENGGONG : Upaya Memahami Fenomena Melalui Budaya Jawa


Menelisik Misteri Sabdo Palon Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.

Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)

173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)

Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.

Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :

Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)

Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.

“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :

Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)

Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.

Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :

“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)

Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.

Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :

“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”

“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)

Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :

“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”)

Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.

Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :

3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)

4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)

5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)

6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)

7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)

8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)

awas-merapi.jpgDari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.

Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).

SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?

danghyang-pic.jpgSetelah kita membaca dan memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat leluhur Nusantara yang ada di blog ini, maka telah sampai saatnya saya akan mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya mendapatkan jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding juga saya mendengar nama ini)

Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
“Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”

Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.

Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).

Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha, lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:

1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11 )
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.

Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan : “Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru. Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini. Sangat sensitif… Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada “seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik “seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.”

“Kesimpulan akhirnya adalah : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang dinamakan “SATRIO PININGIT”. Jadi, Satrio Piningit (SP) = adalah seorang Satrio Pinandhito (SP) = yaitulah Sabdo Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong (SP) = dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP) = pemegang pusaka Sabdo Palon (SP) = berada di “SP” (?) = tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP” (?) = dengan nama “SP” dan “SP” (?) . Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan “membuktikan” banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini. Kapan waktunya ? Hanya Allah SWT yang tahu. Subhanallah… Masya Allah la quwata illa billah…”

Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah ridho.

Kegiatan BP2K Sebatik Barat
























Selasa, 26 Oktober 2010

PROGRAM KEGIATAN BPSDMP KEMENTAN RI

PROGRAM KEGIATAN BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA  MANUSIA
KEMENTRIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

Pemantapan Sistem Penyuluhan Pertanian 
Kegiatan Pemantapan Sistem Penyuluhan Pertanian meliputi :

1. Penataan Kelembagaan dan Ketenagaan Penyuluhan Pertanian
  • Pengawalan penerbitan peraturan perundang-undangan penyuluhan pertanian.
  • Penataan Badan Koordinasi Penyuluhan, Badan Pelaksana Penyuluhan, dan Balai Penyuluhan Kecamatan, sesuai dengan undang-undang nomor 16 tahun 2006.
  • Penataan Pos Pelayanan Penyuluhan Desa/Kelurahan.
  • Perencanaan ketenagaan penyuluh pertanian, serta fasilitasi penyelesaian Penyuluh Pertanian Honorer dan THL-TB PP.
  • Identifikasi dan penetapan petani sukses menjadi penyuluh swadaya.
2. Pemberdayaan Kelembagaan Petani dan Usahatani
  • Fasilitasi penumbuhan Gapoktan melalui program pemberdayaan masyarakat tani dan pengembangan Gapoktan menjadi kelembagaan ekonomi perdesaan.
3. Pengembangan Program dan Informasi Penyuluhan Pertanian
  • Pengembangan programa penyuluhan pertanian nasional mendukung empat sukses pembangunan pertanian, serta mengantisipasi perubahan lingkungan dan kelestarian lingkungan.
  • Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian.
  • Pengembangan  cyber extension untuk mendukung efektivitas penyelenggaraan penyuluhan pertanian.

Pemantapan Sistem Pelatihan Pertanian
Kegiatan Pemantapan Sistem Pelatihan Pertanian meliputi :

1. Pemantapan Kelembagaan Pelatihan Pertanian
  • Penataan dan akreditasi UPT Pelatihan Pusat dan Daerah.
  • Penataan dan klasifikasi kelembagaan P4S.
  • Pengembangan sarana dan prasarana pelatihan.
2. Peningkatan Ketenagaan Pelatihan Pertanian
  • Peningkatan profesionalisme widyaiswara dan tenaga teknis kediklatan.
  • Peningkatan kompetensi instruktur P4S.
3. Peningkatan Penyelenggaraan Pelatihan Pertanian
  • Pengembangan pedoman dan materi pelatihan pertanian yang mendukung empat sukses pembangunan pertanian, serta mengantisipasi perubahan iklim dan kelestarian lingkungan.
  • Pengembangan pelatihan teknis agribisnis, kewirausahaan,  fungsional dan struktural bagi penyuluh PNS, RIHP non penyuluh, pejabat dan petugas lainnya lingkup pertanian berbasis kompetensi kerja.
  • Pengembangan pelatihan dan permagangan teknis agribisnis dan kewirausahaan berbasis kompetensi kerja bagi penyuluh swadaya, instruktur/pengelola P4S, pengurus Gapoktan dan kelembagaan petani lainnya.
4. Pengembangan Program dan Kerjasama Pelatihan Pertanian
  • Peningkatan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pelatihan pertanian dengan instansi terkait di pusat dan daerah.
  • Pengiriman widyaiswara/tenaga ahli serta penyelenggaraan pelatihan/permagangan pertanian dalam kerangka kerjasama luar negeri.
Revitalisasi Sistem Pendidikan serta Pengembangan Standarisasi dan Sertifikasi Profesi SDM Pertanian
Kegiatan Revitalisasi Sistem Pendidikan serta Pengembangan Standarisasi dan Sertifikasi Profesi SDM Pertanian meliputi:

1. Penataan Kelembagaan Pendidikan
  • Akreditasi STPP serta penataan dan pengembangan program studi di STPP.
  • Pengembangan SPP menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan SBI.
2. Peningkatan Ketenagaan Pendidikan Pertanian
  • Standarisasi guru dan tenaga kependidikan SPP dan SMK/SPP-RSBI/SBI.
  • Standarisasi dosen STPP.
3. Peningkatan Penyelenggaraan Pendidikan Pertanian
  • Penyelenggaraan pendidikan tinggi kedinasan bidang penyuluhan pertanian dan RIHP non penyuluh pertanian serta Perkarantinaan Pertanian.
  • Peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan menengah kejuruan pertanian di SPP/ SMK-SPP berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP).
4. Pengembangan Program dan Kerjasama Pendidikan Pertanian
  • Fasilitasi pendidikan program pasca sarjana bagi aparatur pertanian.
  • Fasilitasi program pertukaran siswa dan permagangan alumni SPP dalam kerangka kerjasama teknis luar negeri di bidang pendidikan pertanian.
5. Pengembangan Standarisasi dan Sertifikasi Profesi
  • Fasilitasi pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bidang pertanian non penyuluhan pertanian.
  • Fasilitasi pelatihan calon asessor bidang penyuluhan pertanian dan bidang pertanian lainnya.
  • Pemetaan dan pengembangan UPT Pelatihan BPPSDMP untuk menjadi Lembaga Diklat Profesi dan Tempat Uji Kompetensi (TUK).
  • Fasilitasi sertifikasi profesi penyuluh pertanian.
  • Penyusunan SKKNI bidang pertanian (tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan) dan harmonisasi dengan standar kompetensi kerja internasional.

Senin, 25 Oktober 2010

Hakekat Sebuah Jabatan

Suatu hari Abu Musa Al-Asy'ari r.a datang menghadap Rasulullah saw bersama kedua sepupunya. Salah seorang sepupu Abu Musa r.a berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan untuk membantu tugas-tugasmu!"
Rasulullah saw menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya."

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a bercerita, "Ketika Rasulullah saw sedang berbicara di hadapan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu bertanya, 'Kapankah terjadi hari kiamat?' Namun, Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang mengatakan bahwa Rasulullah mendengarnya, tetapi beliau membenci perkataannya itu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau tidak mendengarnya. Setelah selesai berbicara, Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari kiamat tadi?' Orang yang bertanya tadi berkata, 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah hari Kiamat.' Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat'! " (HR Bukhari)

Pada saat yang lain, Abu Dzar Al-Ghifari r.a pernah melakukan hal yang sama, yaitu meminta jabatan. Kemudian Rasulullah saw. menanggapi permohonannya, "Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Padahal, jabatan merupakan amanat yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber penyesalan dan kehinaan. Hanya orang-orang yang dapat menunaikan hak dan kewajiban yang dapat selamat dari azab Allah SWT."

Sejak saat itu Abu Dzar r.a selalu menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan. Bahkan, tawaran menjadi pemimpin di Irak ia tolak dan berkata, "Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk selama-lamanya!"

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasihati sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Pada suatu hari, Abbas r.a, paman Rasulullah saw mendatangi beliau dan memohon agar diberi jabatan, "Ya Rasulullah, apakah kamu tidak suka mengangkatku menjadi pejabat pemerintahan?" pintanya.
Abbas r.a tidak asal meminta jabatan karena ia adalah orang yang cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Namun, Rasulullah saw. tidak ingin membebaninya dengan tugas pemerintahan.

Kemudian beliau menjelaskan kepada sang paman bahwa akhirat lebih baik daripada jabatan di dunia. Beliau bersabda, "Wahai Paman, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik dan'pada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."

Pernyataan itu menenangkan hati Abbas r.a. sehingga runtuhlah keinginannya untuk memiliki jabatan. Namun, Ali r.a yang melihat pada diri Abbas r.a terdapat sebuah potensi yang bermanfaat untuk kepentingan umat berkata kepadanya, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah"

Abbas r.a kembali menghadap Rasulullah saw dan mengikuti saran Ali r.a, yaitu meminta diangkat menjadi pemungut sedekah. Rasulullah tersenyum seraya berkata kepada pamannya, "Tidak mungkin aku mengangkatmu untuk mengurusi 'cucian dosa' orang."

Pada waktu yang lain, Abbas r.a kembali menemui kemenakannya. Namun, bukan dalam rangka meminta jabatan. Dengan segala kerendahan hati ia meminta petunjuk kepada Rasulullah saw agar dirinya berguna di sisi Allah SWT.

la berkata, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut dan ajalku hampir tiba. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"

Rasulullah saw. menjawab, "Abbas, engkau adalah pamanku dan aku tidak berdaya sedikit pun dalam masalah yang berkenaan di sisi Allah, tetapi mohonlah kepada Tuhanmu ampunan dan keselamatan!"

la pun menerima saran Rasulullah saw. Pada dasarnya, Abbas r.a hanya ingin sisa hidupnya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya. Jika ia tidak bisa memanfaatkan potensinya melalui jabatan dan mengurus rakyat, ia ingin berguna di sisi Allah SWT.

Akan tetapi, Allah SWT tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun untuk menjalankan Kerajaan-Nya. Allah SWT menciptakan malaikat dan mengutus para rasul bukan karena Allah SWT membutuhkan pertolongan, tetapi itulah cara Dia mengatur alam semesta beserta makhluk-Nya.

“Jabatan adalah sebuah anugerah"
karena ia diberikan pada orang yang terpilih, sebagai suatu simbol kepercayaan pada dirinya.

Orang yang diberi jabatan adalah seorang “the best” pada segala sisi, sebab tidak semua orang dapat memperoleh jabatan. Dengan demikian, patut diterima dengan perenungan mendalam dan pemahaman sungguh-sungguh akan arti sebuah “jabatan“ yang notabene mengandung arti sebuah amanah yang dapat membawa seseorang pada surga atau neraka.

Jabatan adalah sebuah amanah, layak atau tidak layak seseorang seseorang menduduki jabatan itu, semestinya seseorang ketika ditunjuk menjadi pejabat di suatu posisi tertentu bergetarlah dan takutlah hatinya. Karena sesungguhnya dia akan memikul sebuah amanah, yang tidak boleh dilihat hanya dari segi prestise (gengsi), sebagai sebuah kebanggaan diri atau mengharap sesuatu yang akan menguntungkannya, tapi seyogyanya yang harus dilihat dan difikirkannya adalah “suatu tanggung jawab yang sangat besar, yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT”.

Jabatan adalah identik dengan memimpin, dan setiap manusia sesungguhnya adalah pemimpin. Entah itu pemimpin bagi sekelompok orang atau sebuah Negara, atau sebuah rumah tangga, bahkan pemimpin lingkup terkecil bagi dirinya sendiri. Maka semua yang diamanahkan kepadanya seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Kullukum raa’in wa kullukum mas-uulun ‘an raa’iyatihi”, artinya: “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya.”


Ironisnya, fenomena yang sering terjadi di dunia ini adalah hampir setiap orang ramai-ramai berburu jabatan, berjuang mati-matian, saling sikut, saling depak, tak ingat lagi etika, tak peduli sanak saudara, tak soal berapa banyak materi yang harus terkuras untuk menggapainya. Mereka tak sadar padahal sesungguhnya mereka sedang berburu fitnah menuju surga dengan jalan menuju neraka. Mereka tak sadar diri mereka sedang memetik buah “simalakama” dan mereka tak peduli api neraka sedang menanti.

Kalau saja mereka tahu atau ingat akan arti sebuah kalimat “akan dipintai pertanggungjawaban”, pasti tak akan mau menerima sebuah jabatan, apalagi sampai kawan menjadi lawan, atau sampai mengorbankan sebuah persaudaraan. Karena sesungguhnya harus difahami bahwa sebuah tuntutan pertanggungjawaban bukanlah hal enteng dibanding posisi sebuah jabatan, karena makna yang terkandung dalam kata pertanggungjawaban itu adalah “lubang besar” sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan berbagai aspek dan kriteria yang harus ada atau terdapat pada diri seseorang yang akan menjalani tugas memegang tampuk jabatan atau tampuk pimpinan. Layakkah seseorang tersebut berada di posisi itu?

Di antaranya kelayakan yang harus dimiliki dilihat dari kriteria:
  1. Integrity (integritas)
  2. Capability (kapabilitas/kemampuan)
  3. Acceptability (akseptabilitas/penerimaan orang terhadapnya)
Artinya orang tersebut harus “smart“ alias cerdas dan mumpuni atas tugas yang akan dilaksanakannya tersebut, sehingga dia dapat menentukan arah langkahnya, bukan meraba-raba bagai orang buta yang berjalan tanpa tongkat, melenceng dari arah yang ditujunya.

Dilihat dari segi kepemimpinan: orang tersebut hendaknya mempunyai sifat dan sikap sebagaimana seharusnya seseorang yang akan menjadi panutan bagi orang-orang yang akan dipimpinnya, sebab pimpinan yang baik adalah yang bukan hanya pandai menyuruh, sedangkan dia sendiri hanya berpangku tangan, dan ketika menghadapi persoalan dia lari paling depan.

Dari segi moralitas, orang tersebut hendaknya mempunyai etika dan moral yang layak sebagai figur yang jujur, yang tidak mementingkan keuntungan diri sendiri.

Ajaran Islam memberi tuntunan yang sangat sempurna tentang kriteria pemimpin ini melalui teladan Sang Pembawa cahaya kebenaran, Nabi Muhammad SAW dengan sifat-sifatnya yang patut dicontoh sebagai Uswah Hasanah yaitu:
  1. Siddiq, mempunyai sifat jujur
  2. Amanah, memiliki sifat yang dapat dipercaya
  3. Tabligh, berani meyampaikan kebenaran
  4. Fathonah, cerdas

Jadi, seseorang yang akan diangkat menjadi seorang pejabat atau pemimpin hendaknya berpegang pada sifat-sifat Rasul tersebut, dan hendaknya berani jujur bertanya pada nurani sendiri apakah dirinya dapat meneladani sifat Rasul tersebut, sehingga layakkah menduduki suatu jabatan dan sanggupkah menanggung resiko yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang menjadi tugasnya sebagai pejabat.

Kalaulah semua kriteria itu dapat dimiliki dan dirasa oleh orang lain atau oleh dirinya (paling tidak sedang berusaha menuju sifat tersebut), maka insyaAllah seberat apapun tugas yang diembannya akan dapat membawa pada apa yang dipimpinnya menuju kesuksesan sesuai dengan visi dan misinya.

Maka, seyogyanya ketika menunjuk, menugaskan atau mengangkat seseorang untuk memegang suatu jabatan hendaknya bukan karena alasan “kedekatan secara emosional, persaudaraan, persahabatan atau sebagai suatu balas jasa“, dan seyogyanya pula ketika seseorang ditunjuk untuk memegang suatu jabatan, hendaknya mengukur diri sendiri, berkaca pada jiwa, bercermin pada hati nurani dan memahami arti sebuah “JABATAN“ yang merupakan “amanah“ yang notabene adalah sebuah beban kepercayaan yang harus dilaksanakan dengan segala kesungguhan jiwa dan raganya, agar tidak terjebak pada sebuah niat mencari popularitas atau sekedar mengeruk keuntungan semata atau karena mengejar sebuah prestise, atau lebih gilanya lagi demi penimbunan materi! Karena dibalik tirai jabatan itu ada tuntutan pertanggungjawaban yang bisa membawa seseorang pada jurang kehancuran diri.

Manisnya sebuah jabatan seringkali melupakan semua resiko yang akan dihadapinya. Banyak contoh yang terjadi. Kadang-kadang melihat dan mencermati fenomena seperti itu sangat mengiris hati: ketika seseorang ditunjuk untuk menjadi pejabat dengan serta merta berteriak, meloncat kegirangan, bertepuk tangan bahkan ada yang bersujud mengucapkan syukur, hati ini acap heran dan bertanya “apa yang dia syukuri?“, wong api neraka sedang menanti kalau dia salah meniti! Kalaulah, sekali lagi kalaulah disadari bahwa sesungguhnya dia itu sedang berjalan di sebuah titian yang bernama sebuah jabatan yang seharusnya berpegang pada sifat-sifat yang dimiliki Rasul, atau sedikitnya berupaya dan bertekad ke arah sifat-sifat tersebut, yaitu sifat Siddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh yang kalau tidak diteladani maka api neraka akan tertawa menjilati dan menghanguskannya.

Maka adalah sebuah kenistaan bila kita mengemis-ngemis jabatan. Terlebih lagi dengan membeli jabatan. Konon lagi ketika tak mampu mengemban amanah yang terkandung dalam jabatan itu.

Meskipun demikian, tak perlu berkecil hati, laksanakanlah amanah itu dengan rasa penuh tanggungjawab yang besar, dengan kesadaran yang tinggi. Dengan dilandasi iman dan takwa, serta ikhlas berserah diri pada Sang Maha Pemilik Segalanya. Dan senantiasa beruswah pada sifat-sifat yang dimiliki Rasul Muhammad SAW, dan selalulah ingat bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas jabatannya tesebut.

Tulisan ini hanya sebuah manisfestasi kasih sayang terhadap sesama saudara Muslim yang mungkin saja saat ini akan atau sedang menduduki sebuah jabatan dalam rangka “watawaashau bil haq, watawaa bi shobri“. Agar selalu memahami bahwa pengertian sebuah jabatan harus dimaknai dan difahami sebagai sebuah proses pendewasaan diri dan hati nurani untuk menjadi seorang yang dapat bersifat Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
 

Untuk Kita Renungkan

Jika bekerja kita hanya berharap gaji tiap bulan/mingguan, maka sesungguhnya hanya itulah yang kita dapat tiap bulan/minggu dan bahkan mendapat kekecewaan ketika apa yang kita  dapat tidak sesuai yang kita harapkan (sering kan mengalami yang demikian? hayo ngaku, ngaku). Namun semuanya akan terasa berbeda dan mungkin lebih nikmat jika bekerja diniati sebagai bagian dari ibadah. Tiap berangkat kerja diniati memberikan layanan yg terbaik buat orang lain; yang punya keluarga, istri dan Anak diniati untuk menghidupi istri dan anak sehingga anak dan istrinya bisa tumbuh berkembang dengan baik dan bisa berbuat kebaikan dimasa yang akan datang. Nikmat/tidaknya rejeki bukan terletak pada banyak atau sedikitnya rejeki yang kita dapat; namun terletak pada bagaimana kita mengapresiasinya. Apapun yang diberikan-Nya pada kita baik berupa sakit, sehat, harta yang berlimpah adalah jalan Tuhan memberikan nikmat pada hamba-Nya. Susah rasanya bisa menikmati Ayam panggang jika memang setiap hari makananya ayam panggang, nikmatnya ayam panggang akan terasa bagi mereka yang jarang/tidak pernah memakannya. Masalah ialah tidak adanya solusi. Sakit adalah belum adanya sehat dalam tubuh dan ikhlas dalam hati, putus asa adalah nisbinya keyakinan pd Tuhan, miskin adalah belum adanya kekayaan hati untuk mensyukuri harta yang diberikan-Nya. Kesulitan/persakitan yg kita alami itu justru akan membuka pendengaran dan penglihatan, akan menghidupkan hati, mendewasakan jiwa, mengingatkan hamba dan tentunya menambah pahala jika bisa ikhlas.
Seorang teman yang mengutip KH. Ahmad Dahlan bilang "Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah", "Hidup hidupilah dirimu, niscaya Muhammadiyah akan hidup".