Suatu hari Abu Musa Al-Asy'ari r.a datang menghadap Rasulullah saw bersama kedua sepupunya. Salah seorang sepupu Abu Musa r.a berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan untuk membantu tugas-tugasmu!"
Rasulullah saw menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya."
Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a bercerita, "Ketika Rasulullah saw sedang berbicara di hadapan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu bertanya, 'Kapankah terjadi hari kiamat?' Namun, Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang mengatakan bahwa Rasulullah mendengarnya, tetapi beliau membenci perkataannya itu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau tidak mendengarnya. Setelah selesai berbicara, Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari kiamat tadi?' Orang yang bertanya tadi berkata, 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah hari Kiamat.' Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat'! " (HR Bukhari)
Pada saat yang lain, Abu Dzar Al-Ghifari r.a pernah melakukan hal yang sama, yaitu meminta jabatan. Kemudian Rasulullah saw. menanggapi permohonannya, "Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Padahal, jabatan merupakan amanat yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber penyesalan dan kehinaan. Hanya orang-orang yang dapat menunaikan hak dan kewajiban yang dapat selamat dari azab Allah SWT."
Sejak saat itu Abu Dzar r.a selalu menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan. Bahkan, tawaran menjadi pemimpin di Irak ia tolak dan berkata, "Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk selama-lamanya!"
Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasihati sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."
Pada suatu hari, Abbas r.a, paman Rasulullah saw mendatangi beliau dan memohon agar diberi jabatan, "Ya Rasulullah, apakah kamu tidak suka mengangkatku menjadi pejabat pemerintahan?" pintanya.
Abbas r.a tidak asal meminta jabatan karena ia adalah orang yang cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Namun, Rasulullah saw. tidak ingin membebaninya dengan tugas pemerintahan.
Kemudian beliau menjelaskan kepada sang paman bahwa akhirat lebih baik daripada jabatan di dunia. Beliau bersabda, "Wahai Paman, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik dan'pada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Pernyataan itu menenangkan hati Abbas r.a. sehingga runtuhlah keinginannya untuk memiliki jabatan. Namun, Ali r.a yang melihat pada diri Abbas r.a terdapat sebuah potensi yang bermanfaat untuk kepentingan umat berkata kepadanya, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah"
Abbas r.a kembali menghadap Rasulullah saw dan mengikuti saran Ali r.a, yaitu meminta diangkat menjadi pemungut sedekah. Rasulullah tersenyum seraya berkata kepada pamannya, "Tidak mungkin aku mengangkatmu untuk mengurusi 'cucian dosa' orang."
Pada waktu yang lain, Abbas r.a kembali menemui kemenakannya. Namun, bukan dalam rangka meminta jabatan. Dengan segala kerendahan hati ia meminta petunjuk kepada Rasulullah saw agar dirinya berguna di sisi Allah SWT.
la berkata, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut dan ajalku hampir tiba. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah saw. menjawab, "Abbas, engkau adalah pamanku dan aku tidak berdaya sedikit pun dalam masalah yang berkenaan di sisi Allah, tetapi mohonlah kepada Tuhanmu ampunan dan keselamatan!"
la pun menerima saran Rasulullah saw. Pada dasarnya, Abbas r.a hanya ingin sisa hidupnya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya. Jika ia tidak bisa memanfaatkan potensinya melalui jabatan dan mengurus rakyat, ia ingin berguna di sisi Allah SWT.
Akan tetapi, Allah SWT tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun untuk menjalankan Kerajaan-Nya. Allah SWT menciptakan malaikat dan mengutus para rasul bukan karena Allah SWT membutuhkan pertolongan, tetapi itulah cara Dia mengatur alam semesta beserta makhluk-Nya.
“Jabatan adalah sebuah anugerah"
karena ia diberikan pada orang yang terpilih, sebagai suatu simbol kepercayaan pada dirinya.
Orang yang diberi jabatan adalah seorang “the best” pada segala sisi, sebab tidak semua orang dapat memperoleh jabatan. Dengan demikian, patut diterima dengan perenungan mendalam dan pemahaman sungguh-sungguh akan arti sebuah “jabatan“ yang notabene mengandung arti sebuah amanah yang dapat membawa seseorang pada surga atau neraka.
Jabatan adalah sebuah amanah, layak atau tidak layak seseorang seseorang menduduki jabatan itu, semestinya seseorang ketika ditunjuk menjadi pejabat di suatu posisi tertentu bergetarlah dan takutlah hatinya. Karena sesungguhnya dia akan memikul sebuah amanah, yang tidak boleh dilihat hanya dari segi prestise (gengsi), sebagai sebuah kebanggaan diri atau mengharap sesuatu yang akan menguntungkannya, tapi seyogyanya yang harus dilihat dan difikirkannya adalah “suatu tanggung jawab yang sangat besar, yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT”.
Jabatan adalah identik dengan memimpin, dan setiap manusia sesungguhnya adalah pemimpin. Entah itu pemimpin bagi sekelompok orang atau sebuah Negara, atau sebuah rumah tangga, bahkan pemimpin lingkup terkecil bagi dirinya sendiri. Maka semua yang diamanahkan kepadanya seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Kullukum raa’in wa kullukum mas-uulun ‘an raa’iyatihi”, artinya: “setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya.”
Ironisnya, fenomena yang sering terjadi di dunia ini adalah hampir setiap orang ramai-ramai berburu jabatan, berjuang mati-matian, saling sikut, saling depak, tak ingat lagi etika, tak peduli sanak saudara, tak soal berapa banyak materi yang harus terkuras untuk menggapainya. Mereka tak sadar padahal sesungguhnya mereka sedang berburu fitnah menuju surga dengan jalan menuju neraka. Mereka tak sadar diri mereka sedang memetik buah “simalakama” dan mereka tak peduli api neraka sedang menanti.
Kalau saja mereka tahu atau ingat akan arti sebuah kalimat “akan dipintai pertanggungjawaban”, pasti tak akan mau menerima sebuah jabatan, apalagi sampai kawan menjadi lawan, atau sampai mengorbankan sebuah persaudaraan. Karena sesungguhnya harus difahami bahwa sebuah tuntutan pertanggungjawaban bukanlah hal enteng dibanding posisi sebuah jabatan, karena makna yang terkandung dalam kata pertanggungjawaban itu adalah “lubang besar” sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan berbagai aspek dan kriteria yang harus ada atau terdapat pada diri seseorang yang akan menjalani tugas memegang tampuk jabatan atau tampuk pimpinan. Layakkah seseorang tersebut berada di posisi itu?
Di antaranya kelayakan yang harus dimiliki dilihat dari kriteria:
- Integrity (integritas)
- Capability (kapabilitas/kemampuan)
- Acceptability (akseptabilitas/penerimaan orang terhadapnya)
Artinya orang tersebut harus “smart“ alias cerdas dan mumpuni atas tugas yang akan dilaksanakannya tersebut, sehingga dia dapat menentukan arah langkahnya, bukan meraba-raba bagai orang buta yang berjalan tanpa tongkat, melenceng dari arah yang ditujunya.
Dilihat dari segi kepemimpinan: orang tersebut hendaknya mempunyai sifat dan sikap sebagaimana seharusnya seseorang yang akan menjadi panutan bagi orang-orang yang akan dipimpinnya, sebab pimpinan yang baik adalah yang bukan hanya pandai menyuruh, sedangkan dia sendiri hanya berpangku tangan, dan ketika menghadapi persoalan dia lari paling depan.
Dari segi moralitas, orang tersebut hendaknya mempunyai etika dan moral yang layak sebagai figur yang jujur, yang tidak mementingkan keuntungan diri sendiri.
Ajaran Islam memberi tuntunan yang sangat sempurna tentang kriteria pemimpin ini melalui teladan Sang Pembawa cahaya kebenaran, Nabi Muhammad SAW dengan sifat-sifatnya yang patut dicontoh sebagai Uswah Hasanah yaitu:
- Siddiq, mempunyai sifat jujur
- Amanah, memiliki sifat yang dapat dipercaya
- Tabligh, berani meyampaikan kebenaran
- Fathonah, cerdas
Jadi, seseorang yang akan diangkat menjadi seorang pejabat atau pemimpin hendaknya berpegang pada sifat-sifat Rasul tersebut, dan hendaknya berani jujur bertanya pada nurani sendiri apakah dirinya dapat meneladani sifat Rasul tersebut, sehingga layakkah menduduki suatu jabatan dan sanggupkah menanggung resiko yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang menjadi tugasnya sebagai pejabat.
Kalaulah semua kriteria itu dapat dimiliki dan dirasa oleh orang lain atau oleh dirinya (paling tidak sedang berusaha menuju sifat tersebut), maka insyaAllah seberat apapun tugas yang diembannya akan dapat membawa pada apa yang dipimpinnya menuju kesuksesan sesuai dengan visi dan misinya.
Maka, seyogyanya ketika menunjuk, menugaskan atau mengangkat seseorang untuk memegang suatu jabatan hendaknya bukan karena alasan “kedekatan secara emosional, persaudaraan, persahabatan atau sebagai suatu balas jasa“, dan seyogyanya pula ketika seseorang ditunjuk untuk memegang suatu jabatan, hendaknya mengukur diri sendiri, berkaca pada jiwa, bercermin pada hati nurani dan memahami arti sebuah “JABATAN“ yang merupakan “amanah“ yang notabene adalah sebuah beban kepercayaan yang harus dilaksanakan dengan segala kesungguhan jiwa dan raganya, agar tidak terjebak pada sebuah niat mencari popularitas atau sekedar mengeruk keuntungan semata atau karena mengejar sebuah prestise, atau lebih gilanya lagi demi penimbunan materi! Karena dibalik tirai jabatan itu ada tuntutan pertanggungjawaban yang bisa membawa seseorang pada jurang kehancuran diri.
Manisnya sebuah jabatan seringkali melupakan semua resiko yang akan dihadapinya. Banyak contoh yang terjadi. Kadang-kadang melihat dan mencermati fenomena seperti itu sangat mengiris hati: ketika seseorang ditunjuk untuk menjadi pejabat dengan serta merta berteriak, meloncat kegirangan, bertepuk tangan bahkan ada yang bersujud mengucapkan syukur, hati ini acap heran dan bertanya “apa yang dia syukuri?“, wong api neraka sedang menanti kalau dia salah meniti! Kalaulah, sekali lagi kalaulah disadari bahwa sesungguhnya dia itu sedang berjalan di sebuah titian yang bernama sebuah jabatan yang seharusnya berpegang pada sifat-sifat yang dimiliki Rasul, atau sedikitnya berupaya dan bertekad ke arah sifat-sifat tersebut, yaitu sifat Siddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh yang kalau tidak diteladani maka api neraka akan tertawa menjilati dan menghanguskannya.
Maka adalah sebuah kenistaan bila kita mengemis-ngemis jabatan. Terlebih lagi dengan membeli jabatan. Konon lagi ketika tak mampu mengemban amanah yang terkandung dalam jabatan itu.
Meskipun demikian, tak perlu berkecil hati, laksanakanlah amanah itu dengan rasa penuh tanggungjawab yang besar, dengan kesadaran yang tinggi. Dengan dilandasi iman dan takwa, serta ikhlas berserah diri pada Sang Maha Pemilik Segalanya. Dan senantiasa beruswah pada sifat-sifat yang dimiliki Rasul Muhammad SAW, dan selalulah ingat bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas jabatannya tesebut.
Tulisan ini hanya sebuah manisfestasi kasih sayang terhadap sesama saudara Muslim yang mungkin saja saat ini akan atau sedang menduduki sebuah jabatan dalam rangka “watawaashau bil haq, watawaa bi shobri“. Agar selalu memahami bahwa pengertian sebuah jabatan harus dimaknai dan difahami sebagai sebuah proses pendewasaan diri dan hati nurani untuk menjadi seorang yang dapat bersifat Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
font' gak krg mungil kah pak..;)
BalasHapusOke..Thanks masukannya Mama...I Love You Mom..!!!
BalasHapus